Dokter Asing: Apa yang Diharapkan?

In Berita Umum 28 March 2023

ForumDokter.id - Anggapan bahwa dokter Indonesia tak setuju dengan masuknya dokter asing sama sekali tidak benar. Dokter asing tak akan jadi masalah sepanjang tetap mengikuti regulasi. Tetapi, tak terlalu banyak yang bisa diharapkan.

Mobilisasi atau perpindahan dokter antarnegara merupakan hal biasa dan lazim terjadi di seluruh dunia.

Cukup banyak dokter dengan berbagai keahliannya di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat (AS), Australia, Inggris, dan Jerman, berasal dari negara lain. Pada umumnya mereka berasal dari negara berkembang dan pindah ke negara maju. Perpindahan itu biasanya terkait dengan alasan bidang keahlian tertentu yang dibutuhkan, serta masalah penghargaan atau kesejahteraan yang lebih baik dibandingkan yang diperoleh di negara asal.

Di tingkat Asia Tenggara, sesuai kesepakatan dalam mutual recognition arrangement (MRA) di era Masyarakat Ekonomi ASEAN, dokter dapat melakukan mobilisasi/berpindah kerja antarnegara dengan mematuhi dan tunduk pada regulasi negara masing-masing.

Ada lima area kegiatan mobilisasi yang disepakati antarnegara ASEAN. Pertama, limited practice, yakni praktik dalam waktu terbatas bagi dokter asing dengan tetap mengikuti regulasi di negara tujuan. Untuk Indonesia, dokter asing diizinkan praktik selama satu tahun dan bisa diperpanjang satu kali.

Kedua, education and training, yakni dokter dari negara-negara ASEAN dapat mengikuti pendidikan atau pelatihan di beberapa institusi.

Ketiga, humanitarian mission, yakni dokter asing yang datang untuk memberikan bantuan kemanusiaan berupa pengobatan atau bantuan pada suatu negara yang mengalami bencana alam. Misal, pada tsunami Aceh tahun 2004.

Keempat, expert visit, yakni kunjungan dari berbagai ahli di bidang kedokteran. Sering disebut alih ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kelima, research, yakni kerja sama di bidang penelitian kesehatan dan kedokteran antarnegara di ASEAN.

Empat dari lima kategori mobilisasi dokter itu sudah berjalan dengan baik selama ini, kecuali dalam hal limited practice bagi dokter dari luar Indonesia. Praktik terbatas dokter yang berasal dari luar negeri secara legal di Indonesia saat ini masih sangat sedikit dan memerlukan pengaturan yang cermat.

Kekurangan dokter

Kekurangan dokter, terutama di daerah periferi, terpencil, dan kepulauan, seakan terus menjadi ratapan tak berkesudahan. Sayangnya, peta jalan dan strategi untuk mengatasinya tak kunjung muncul dari pembuat kebijakan.

Beberapa hari lalu, Presiden Joko Widodo meminta Kemendikbudristek dan Kementerian Kesehatan untuk mempermudah proses pendidikan spesialis dan subspesialis. Namun, sejatinya, memproduksi dokter, dokter spesialis, dan subspesialis tak sederhana dan tak mudah karena terkait dengan sistem pendidikan dokter, pembiayaan, dan sistem penempatan yang masih banyak masalah. Selain itu, distribusi dokter yang belum merata (maladistribusi) juga tak kunjung teratasi. Data Konsil Kedokteran Indonesia terbaru menunjukkan, jumlah dokter yang ada sebanyak 165.678, dan dokter spesialis 49.909.

Artinya, saat ini kita punya 215.587 dokter dan dokter spesialis, yang berarti untuk 275 juta penduduk masih diperlukan sekitar 60.000 dokter lagi untuk mencapai rasio dokter terhadap penduduk 1 : 1.000. Sayangnya, sebagian besar dokter terpusat di kota besar, terutama di Jawa, dan sangat sedikit di daerah timur Indonesia. Lantas, apa perlu impor dokter asing, di samping meningkatkan produksi dokter ”domestik”?

Di era globalisasi saat ini, masuknya dokter asing ke suatu negara sudah merupakan keniscayaan, tetapi harus tetap mengikuti regulasi yang ada. Masih ada beberapa pertanyaan dan masalah yang perlu menjadi pertimbangan, khususnya bagi pemerintah. Misal, seberapa jauh dokter asing akan dapat memenuhi kebutuhan kekurangan dokter di berbagai pelosok Tanah Air, khususnya dokter spesialis dan subspesialis?

Bukan tak mungkin mereka hanya akan bekerja di kota-kota besar dan RS yang lengkap sarana dan fasilitasnya, dengan gaji tinggi. Selain itu, apakah dokter yang datang dari beberapa negara itu punya kualifikasi dan kompetensi keahlian yang memang tak ada atau langka serta sangat dibutuhkan di negeri ini? Jika mereka bekerja melayani pasien yang datang ke RS besar, katakanlah RS dengan predikat internasional, tentu saja akan melayani pasien yang sanggup membayar dengan biaya tinggi.

Ada pendapat bahwa keberadaan RS internasional, seperti yang sedang dibangun di Sanur, Bali, dan dokter asing dengan kualifikasi tertentu, akan bisa menekan hilangnya devisa hingga Rp 165 triliun per tahun, karena sekitar dua juta orang Indonesia berobat ke luar negeri.

Pertanyaannya, apakah serta-merta orang kita yang biasa berobat ke luar negeri sambil berwisata selama ini akan mengubah haluan berobat ke dalam negeri karena sudah ada RS berkelas internasional di sini? Belum tentu.

Ada yang memperkirakan, RS ini hanya akan menarik 10-15 persen dari orang-orang yang biasa berobat ke luar negeri. Biaya pengobatan yang lebih murah dan terjangkau (affordable price) merupakan salah satu alasan utama untuk memperoleh pelayanan kesehatan di luar negeri, karena di sana umumnya alat-alat kesehatan dan obat tidak dikenai pajak seperti di sini.

Sistem pelayanan yang cepat, efisien, dan profesional mungkin yang mereka harapkan di luar negeri. Sebenarnya, dari segi kompetensi dan keahlian, dokter kita sama dengan dokter luar negeri. Bahkan, di bidang tertentu, dokter Indonesia lebih unggul dan lebih banyak pengalaman. Beberapa tahun lalu, seorang pejabat tinggi mengurungkan niatnya untuk membawa cucunya operasi ke Singapura setelah mendapat informasi bahwa untuk operasi jenis penyakit itu, dokter kita jauh lebih banyak kasus dan berpengalaman. Alhamdulillah, setelah dioperasi, hasilnya sangat baik.

Di semua negara di dunia, dokter asing yang masuk ke suatu negara harus melalui proses evaluasi ketat, terukur, dan mengikuti regulasi yang ada karena pelayanan kesehatan terkait dengan keselamatan nyawa manusia. Untuk praktik di AS atau Australia, seorang dokter dari negara lain harus ujian dan mengikuti seleksi dan evaluasi ketat.

Bagaimana dengan Indonesia? Anggapan bahwa dokter Indonesia tak setuju dengan masuknya dokter asing sama sekali tidak benar. Keberadaan dokter asing tak akan jadi masalah sepanjang tetap mengikuti regulasi yang ada. Namun, pemerintah diharapkan tak menggunakan standar ganda. Misal, menetapkan regulasi adaptasi terhadap dokter WNI lulusan luar negeri, tetapi mempermudah masuknya dokter asing (WNA) tanpa evaluasi kualifikasi dan kompetensinya sebelum mulai praktik, seperti akan diberlakukan bagi dokter lulusan luar negeri yang akan bekerja di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sanur.

Dalam Permenkes No 1/2023 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Rumah Sakit di KEK disebutkan bahwa dokter WNA dan WNI lulusan luar negeri (diaspora?) bisa berpraktik di KEK Sanur tanpa harus ikut adaptasi di universitas seperti regulasi yang masih berlaku (untuk dokter WNA diatur dalam Perkonsil No 14/2023 dan dokter WNI lulusan luar negeri dalam Perkonsil No 97/2021.

Pembangunan RS bertaraf internasional yang bekerja sama dengan Mayo Clinic di Sanur memang perlu disambut baik dan diharapkan akan tersedia layanan kesehatan yang baik dan bermutu bagi pasien dari dalam ataupun luar negeri. Namun, evaluasi kompetensi dokter yang akan bekerja di sana mutlak perlu dilakukan. Tanpa proses adaptasi atau evaluasi kompetensi bagi dokter lulusan luar negeri, itu sangat berisiko.

Ini bukan saja tak tepat dan diskriminatif, tetapi lebih dari itu berpotensi mengancam keselamatan pasien. Memberikan kemudahan seakan menyediakan ”karpet merah” bagi dokter asing tak lazim dilakukan di banyak negara.

Akhirnya, memang ada secercah harapan dengan kehadiran dokter asing dan RS bertaraf internasional di Indonesia, tetapi tak terlalu banyak yang bisa diharapkan. Mereka hanya akan melayani sebagian kecil dari 275 juta rakyat Indonesia. Alih teknologi dan transfer pengetahuan pasti sangat terbatas. Jangan berharap dokter asing akan ditempatkan di beberapa tempat terpencil di berbagai pelosok Tanah Air. Menghambat laju keluarnya devisa juga mungkin tak akan signifikan karena sejatinya masih perlu banyak pembenahan terhadap sistem dan kualitas pelayanan kesehatan, sistem pembiayaan, dan berbagai kebijakan lain di negeri ini. (*)


Oleh: Sukman Tulus Putra | Ketua Perhimpunan Kardiologi Anak Indonesia (PERKANI); Council Member of Asia-Pacific Pediatric Cardiac Society (APPCS); Anggota KKI 2014-2020

(*Kompas.id)

Comments (0)