Heboh Calon Dokter Spesialis di RI Tak Digaji, Aturannya Gimana Sih?

In Berita Umum 14 December 2022



FEDI - Di tengah hebohnya jumlah dokter residen rendah, beragam keluhan soal program pendidikan dokter spesialis (PPDS) muncul. Salah satunya dikaitkan dengan nihil insentif atau tidak digajinya calon dokter spesialis selama praktik di rumah sakit.

Sebenarnya, menurut Setyo Widi Nugroho, Ketua Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia aturan insentif tercantum dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Meski realitanya tidak berjalan sebagaimana mestinya, poin-poin yang mengatur insentif dokter termasuk bagi mahasiswa residen terdapat dalam UU tersebut.

Dalam UU itu juga disebutkan, besaran insentif disesuaikan dengan beban kerja hingga tanggung jawab masing-masing dokter. Widi mengaku insentif para calon dokter spesialis 'mandek'.

''Regulasinya ada, dari UU pendidikan kedokteran disebutkan di sana seorang peserta didik mendapatkan insentif pendidikan, tpi aturan di bawahnya belum cukup kuat mendukung hal tersebut,'' sebut Widi dalam konferensi pers IDI, Selasa (13/12/22).

Pasalnya, pemberian insentif jika cara alurnya tidak diatur secara jelas bisa menjadi indikasi temuan penyalahgunaan dana laporan badan pengawasan keuangan BPK. Karenanya, ia mendorong Kemendikbud dan Kemenkes RI segera mengatur proses pencairan dana insentif dari mulai diajukan hingga diberikan kepada mahasiswa PPDS.

Menurut Widi, insentif bisa sangat membantu calon dokter spesialis dalam kebutuhan biaya hidup maupun pembiayaan SPP prodi Fakultas Kedokteran. Otomatis, meski besaran insentif tidak besar, bisa 'menambal' beban biaya yang dinilai berat selama PPDS.

''Beberapa waktu lalu di tempat saya mendidik mahasiswa mendapatkan insentif dari RS pendidikan, tapi itu bisa jadi potensial temuan BPK, sehingga ini dihapus kembali, itulah yang perlu digagas para stakeholder, khususnya di kementerian kerja sama antara kemenkes dan Kemendikbud bisa merealisasi tanpa harus merubah struktur yang ada,'' timpal dia.

Ia menyarankan pemerintah tidak hanya fokus pada kebutuhan produksi dokter sebanyak-banyaknya, melainkan distribusi yang jelas. Artinya, perlu dilihat berapa kebutuhan masing-masing dokter di daerah. Ini menurutnya berkaitan erat dengan kemampuan apakah dokter yang berpraktik di daerah nantinya mampu diberdayakan sebagaimana mestinya.

''Kalau berkumpul di satu tempat saja tidak bisa, berkumpul terlalu banyak juga akan terjadi kompetisi yang tidak sehat, antara faskes dan dokter, dan akibat kompetisi yang tidak sehat bisa terjadi pelayanan yang sub standar dari pelayanan pasien, tindakannya juga bisa misalnya berujung malpraktik,'' pungkas dia. (*)


(*Artikel sudah tayang di health.detik.com)

Comments (0)