Karut-marut Distribusi Dokter dan Dokter Spesialis

In Berita Umum 3 March 2023

ForumDokter.id - Akhir-akhir ini marak diberitakan pernyataan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin terkait persoalan izin praktik dokter (detik.com, 29/1/2023). Persoalan yang terjadi di beberapa Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di kabupaten/kota, di mana ada dokter yang sulit memperoleh rekomendasi IDI untuk syarat pengurusan surat izin praktik (SIP) ini, oleh Menkes dikaitkan dengan persoalan karut-marutnya distribusi dokter dan dokter spesialis, khususnya di daerah-daerah terpencil, terluar, dan terjauh (3T).

Persoalan ketersediaan tenaga kesehatan dan tenaga pendidik/guru adalah tanggung jawab konstitusional kehadiran negara yang bertujuan untuk menyejahterakan dan mencerdaskan kehidupan seluruh warga negara, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Semenjak 2000, ada program pemerintah untuk bisa menghadirkan tujuh dokter spesialis dasar (penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, kebidanan dan penyakit kandungan, anestesi, radiologi, dan patologi klinik) di seluruh RSUD kabupaten/kota yang saat ini berjumlah 514 kabupaten/kota.

Pemerintah terus berganti dari pemilu ke pemilu, lima atau enam menteri kesehatan silih berganti, rasanya belum pernah ada program pemerintah yang terstruktur dan berkelanjutan guna memenuhi target program tersebut. Akibatnya, hingga saat ini, program penempatan tujuh dokter spesialis dasar tersebut belum separuh yang terpenuhi (disampaikan oleh Menkes dalam forum Meridian, Forum Alumni FKKMK UGM, Desember 2022).

Dilihat dari sudut pandang hak masyarakat untuk memperoleh layanan kesehatan yang berkualitas, kegagalan dalam pemenuhan layanan spesialistik dasar ini adalah sebuah ketidakadilan sosial. Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan universal coverage ini dibiayai oleh iuran (BPJS) dari semua peserta di seluruh negeri. Tetapi faktanya, layanan spesialistik dasar tersebut hingga kini tidak bisa atau belum bisa diperoleh oleh mereka yang tinggal di daerah/wilayah yang belum mempunyai tujuh dokter spesialis dasar tersebut.

Selanjutnya yang muncul di permukaan adalah budaya saling menyalahkan, mulai dari produksi dokter spesialis yang (dianggap) kurang, pemetaan kebutuhan spesialis yang tidak pernah dibuat, sampai menyalahkan organisasi profesi para dokter (IDI) terkait pemberian rekomendasi untuk penerbitan SIP oleh pemerintah kota/kabupaten. Konyolnya lagi, IDI juga dipersalahkan terkait rendahnya produksi dokter spesialis oleh fakultas kedokteran milik negara.

Bahkan, negara, yang direpresentasikan oleh kementerian yang mengurusi urusan kesehatan, juga mengaitkan karut-marutnya distribusi dokter spesialis ini dengan urusan rekomendasi organisasi profesi. Bahkan, menuduh pengurus IDI menerima ”setoran” dan melakukan ”abuse of power” dalam proses pemberian rekomendasi organisasi profesi untuk penerbitan SIP tersebut (detikHealth, 29 Januari 2023).

Masyarakat luas harus tahu bahwa persoalan terkait kesulitan dalam memperoleh rekomendasi organisasi profesi ini terjadi hanya di beberapa daerah (kota/kabupaten) dengan banyak dokter spesialis, daerah yang setidaknya sudah memiliki dokter spesialis sejenis. Di sisi lain, persoalan maladistribusi atau tidak adanya dokter spesialis terjadi di banyak daerah 3T, di mana SIP diterbitkan atas dasar surat penugasan dari pemerintah dan tidak memerlukan rekomendasi organisasi profesi. Jadi jelas bahwa mempersalahkan organisasi profesi terkait kurangnya produksi dan maladistribusi spesialis ini ibarat peribahasa ”jauh panggang dari api”.


Penempatan dokter spesialis

Satu-satunya cara untuk menjadi dokter spesialis adalah melalui Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Ini adalah program sekolah magang berbayar mahal, dengan uang kuliah sebesar Rp 15 juta-Rp 30 juta per semester selama 8-11 semester. Tentu saja ini tidak termasuk biaya hidup peserta didik yang sudah memiliki kompetensi sebagai dokter umum dan umumnya sudah berkeluarga karena tidak adanya gaji/penghasilan selama masa pendidikan.

Sebagian besar peserta didik PPDS ditopang oleh beasiswa orangtua/mertua untuk kebutuhan pendidikan dan kehidupan keluarganya. Meskipun jumlahnya tidak banyak, dalam beberapa tahun terakhir ini ada tunjangan belajar dari Kementerian Pertahanan dan Kemenkes untuk PPDS.

Setelah mereka lulus sebagai dokter spesialis, permasalahan selanjutnya adalah sulitnya mengatur penempatan dokter spesialis di daerah 3T. Beberapa persoalan tersebut antara lain, pertama, meski pilihan profesi menjadi dokter dilandasi untuk mengabdikan diri kepada kepentingan kemanusiaan dan kesehatan pasien, tentu harapan untuk hidup lebih layak dan sejahtera setelah lulus sebagai dokter spesialis adalah hal yang wajar, terutama bagi yang sekolahnya dibiayai oleh pribadi/keluarga.

Kedua, pengalaman kami yang pernah mewakili institusi pendidikan berkomunikasi dengan pemerintah kabupaten/kota di daerah 3T, ada sebagian yang menganggap bahwa pengadaan SDM spesialis (dengan kewajiban memberikan insentif Rp 20 juta-Rp 25 juta per bulan) adalah beban bagi pendapatan asli daerah (PAD).

Ketiga, pengadaan SDM spesialis di RSUD harus dibarengi dengan penyediaan sarana dan fasilitas kerja yang diperlukan yang sering kali terkendala oleh proses di lembaga legislatif. Kalau seorang dokter umum memerlukan alat stethoskop untuk membantu mengenali tanda-tanda penyakit pada pasiennya, seorang spesialis kebidanan perlu ”stethoskop” yang bernama USG untuk mengenali adanya kelainan pada janin di rahim ibu hamil, dan seorang spesialis saraf dan bedah saraf membutuhkan ”stethoskop” yang bernama alat CT scan. Tanpa adanya ”stethoskop” bisa berakibat pada seorang spesialis yang selama lebih dari tiga bulan cuma memancing di laut akibat tidak tersedianya sarana untuk bekerja.

Keempat, tidak adanya ketentuan/peraturan terkait insentif bagi SDM dokter spesialis di daerah 3T berakibat kepada amat bervariasinya jumlah insentif serta pengaruh situasi politik lokal. Saat menjelang pilkada, tawaran insentif begitu besar dan menggiurkan karena hadirnya SDM spesialis bisa menjadi ”alat” kampanye untuk mendulang suara pemilih, tetapi sebaliknya tidak ada jaminan keberlangsungan insentif tersebut nanti setelah pilkada. Bahkan, ada pemerintah kabupaten di Kalimantan Barat yang memberikan jasa medis dokter spesialis saat itu (1998) berdasarkan atas peraturan daerah tahun 1984 (14 tahun sebelumnya).

Kelima, terjadinya penolakan kehadiran dokter spesialis di beberapa kabupaten di Papua oleh masyarakat setempat. Hal ini disebabkan masyarakat, apabila sakit, lebih memilih untuk dirujuk ke Jayapura dengan helikopter (bersama keluarga) dengan anggaran yang disediakan olep pemkab. Di saat yang sama, dengan tersedianya anggaran yang cukup besar, transportasi heli ini menjadi bisnis yang menggiurkan bagi beberapa pejabat lokal.

Keenam, persoalan mendasar yang terlalu sering muncul di negeri ini adalah ego sektoral, hal ini jelas terlihat pada berita berjudul ”12 Dokter Spesialis RS Sungai Penuh Jambi Dirumahkan” (detikSumut, 31 Januari 2023). RSUD ini memberikan pelayanan bagi masyarakat Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh, dan 12 spesialis tersebut adalah PNS Kerinci yang ditugaskan di RS Sungai Penuh berdasarkan surat keputusan bersama (SKB) kedua pemda tersebut.

Dua belas dokter spesialis tersebut sudah dirumahkan selama satu tahun terkait dengan perubahan status kepemilikan aset RS Sungai Penuh menjadi sepenuhnya milik Pemkot Sungai Penuh, sedangkan 12 spesialis itu berstatus PNS Kerinci. Padahal, kedua institusi pemerintah tersebut sama-sama instrumen negara dalam menghadirkan layanan kesehatan yang berkualitas kepada masyarakat.

Semoga uraian di atas membuka mata kita terkait pekerjaan rumah raksasa, yaitu kewajiban negara menghadirkan layanan kesehatan spesialistik yang berkualitas bagi seluruh warga negara. Persoalan ini tidak akan pernah selesai hanya dengan saling mempersalahkan antar-instansi/instrumen negara. Menuding organisasi para dokter (IDI) sebagai biang kerok dari karut-marutnya persebaran dokter adalah ibarat peribahasa ”buruk muka cermin dipecah-eh dibelah”, karena Kemenkes merupakan representasi negara dan yang paling bertanggung jawab mengajak seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah kabupaten/kota dan IDI untuk duduk bersama mencari solusi.

Oleh: Zainal Muttaqin | Dokter, Praktisi Medis dan Pemerhati Pendidikan Dokter (Kompas.id)

Comments (0)