Mengatasi ”Sarung Kependekan” Dokter Spesialis

In Berita Umum 29 March 2023

ForumDokter.id - Dalam berbagai pertemuan, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memaparkan tugas dari Presiden Joko Widodo untuk merombak total sistem kesehatan. Rencana transformasi ini membutuhkan penambahan dokter spesialis. Seperti sarung yang kependekan, ditarik ke atas kaki terlihat dan sebaliknya, kekurangan ini dituduh sebagai salah satu penyebab kesulitan distribusi dan tidak lengkapnya jenis spesialis di rumah sakit. Oleh sebab itu, produksi (dokter spesialis) harus ditingkatkan agar masyarakat mudah menjangkau layanan spesialistik.

Menjadi dokter membuat seorang diizinkan memeriksa tubuh, memberikan obat, melakukan operasi kepada manusia lain. Pendidikan dokter spesialis selalu dilaksanakan di rumah sakit karena tersedia kasus, staf pengajar, dan teknologi terkini. Kasus didapatkan dari pasien yang berobat rawat jalan dan inap atau menjalani operasi.

Untuk mencapai kompetensi dan mampu belajar sepanjang hayat, peserta didik belajar dan bekerja dalam supervisi, mendapat umpan balik dari staf pengajar untuk mendapatkan pengalaman klinik. Calon dokter spesialis juga diasah kemampuan berpikir kiritis dan analitik agar cakap mengambil keputusan berdasarkan bukti dari berbagai penelitian klinik, bukan hanya berdasarkan pengalaman.

Rumah sakit yang digunakan untuk pendidikan umumnya juga unggul dalam pelayanan dan penelitian. Sekadar menghasilkan dokter spesialis dengan kompetensi yang rendah akan berbahaya karena obat, prosedur diagnostik, dan tindakan operasi yang dilakukan oleh dokter spesialis berisiko tinggi dan mahal. Risiko kesakitan berkepanjangan, kecacatan bahkan kehilangan nyawa akan merugikan pasien dan keluarga.

Untuk itu, fakultas kedokteran harus bekerja sama dengan rumah sakit pendidikan milik Kementerian Kesehatan, pemerintah daerah, universitas negeri atau swasta. Fakultas kedokteran berfungsi sebagai penjamin mutu pendidikan. Kekhasan dan keunikan pendidikan kedokteran ini sering kurang dipahami oleh berbagai pihak.

Bagaimana cara meningkatkan jumlah spesialis secara efektif? Pertanyaan ini sangat penting dalam situasi Indonesia yang kekurangan dokter spesialis. Cara paling mudah untuk meningkatkan jumlah dokter spesialis adalah dengan meningkatkan kapasitas (kuota) pendidikan dan membuka fakultas kedokteran baru.

Di Brasil dan Spanyol, kebijakan seperti itu berhasil meningkatkan jumlah dokter bahkan melebihi laju pertambahan penduduk. Kelebihan dokter ini sebagian besar berasal dari fakultas kedokteran swasta baru dengan kualitas yang kurang.

Peningkatan jumlah dokter juga mendorong pendidikan spesialis. Namun, jenis spesialis yang diminati sangat dipengaruhi oleh permintaan pasar, bukan kebutuhan negara. Berdasarkan pengalaman tersebut, mendorong produksi dokter spesialis harus sesuai kebutuhan riil dan mengacu kepada program prioritas negara.

Indonesia memiliki 95 fakultas kedokteran pemerintah dan swasta. Namun, hanya 21 fakultas kedokteran pemerintah dan swasta yang memiliki program studi pendidikan spesialis. Hampir seluruh fakultas kedokteran menyuarakan kesulitan membuka program studi terutama karena kekurangan staf pengajar yang unggul dalam pelayanan dan penelitian serta berdedikasi mendidik.

Perlu dicatat bahwa peningkatan jumlah dokter spesialis seharusnya berdampak meningkatkan kualitas layanan sesuai prioritas program kesehatan nasional. Program pendidikan spesialis ini juga perlu menghitung kebutuhan riil, distribusi yang terencana dan adil, serta berkelanjutan.

Satu strategi yang didorong oleh Kemendikbudristek dan Kemenkes adalah memperluas model sistem kesehatan akademik atau AHS (academic health system). AHS merupakan kolaborasi antara fakultas kedokteran, rumah sakit, dan pemerintah daerah untuk menghasilkan layanan yang unggul. Tujuan akhir kerja sama ini adalah meningkatkan indikator kesehatan masyarakat di wilayah AHS masing-masing.

Enam percontohan AHS (yang dikelola oleh UI, UGM, Unair, Unpad, Unhas, dan USU) dilakukan sejak 2015. Kegiatan AHS ini terbukti membantu pemerintah daerah saat pandemi Covid-19. Negara lain, seperti Singapura, Malaysia, Australia, dan Amerika Serikat, juga menjalankan AHS dengan variasi masing-masing.

Kiprah AHS

Kemenkes dan Kemendikbudristek telah menugaskan enam AHS untuk dikembangkan dan telah ada kerja sama antara Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI), Kolegium, 78/93 dekan fakultas kedokteran dan rumah sakit pendidikan, dan dinas kesehatan di seluruh wilayah Indonesia. Kegiatan dalam AHS telah mengidentifikasi berbagai kebijakan yang harus diubah.

Kebijakan di bidang pendidikan yang diubah antara lain meningkatkan rasio dosen dan mahasiswa dari 1:3 menjadi 1:5, meningkatkan jumlah dosen di rumah sakit pendidikan yang bukan berasal dari universitas (dosen dengan status nomor induk dosen khusus/NIDK), menghapuskan rasio dosen NIDN (nomor induk dosen nasional) dan NIDK, mempercepat penetapan rumah sakit pendidikan, mengisi dokter di puskesmas dan dokter spesialis di RS yang belum lengkap, sampai meningkatkan jumlah rumah sakit yang menjadi wahana pendidikan.

Khusus kebijakan penambahan jumlah spesialis, AHS diarahkan untuk membuka sembilan program studi spesialis prioritas (penyakit dalam, anak, kebidanan, bedah, anestesi, urologi, radiologi, patologi klinik) di fakultas kedokteran di perguruan tinggi negeri dan swasta. Dalam program ini, dilakukan percepatan skema pemberian insentif residen, penambahan beasiswa (termasuk bekerja sama dengan LPDP), kebijakan afirmasi dalam rekrutmen peserta didik, mendorong fakultas kedokteran yang belum memiliki untuk membuka prodi spesialis dan mendorong pembukaan fakultas kedokteran baru di wilayah yang membutuhkan.

Hasilnya, hingga 2023 adalah peningkatan kuota sebesar 19,1 persen, rencana penambahan 738 NIDK, dan pendirian 36 program spesialis. Perlu diakui percepatan pesat ini terjadi karena komitmen kuat Menkes dan Mendikbudristek saat ini.


Bagaimana ke depan?

Kebijakan yang ada perlu implementasi maksimal daripada membuat kebijakan baru yang masih membutuhkan peratuan turunan dan saling berbenturan di tingkat pelaksanaan. Konsep AHS yang telah dibina dan terbukti meningkatkan produksi dokter spesialis tanpa mengorbankan keselamatan pasien, mutu pelayanan, dan mutu pendidikan perlu terus dikembangkan.

Pemanfaatan rumah sakit pemerintah pusat, daerah, dan swasta sebagai rumah sakit jejaring AHS perguruan tinggi perlu diperluas. Fakultas kedokteran dan rumah sakit milik pemerintah dan swasta sama-sama dibutuhkan.

Pekerjaan besar ini membutuhkan komando Presiden Jokowi sebagai pengambil kebijakan tertinggi untuk memperkuat kerja bersama antara Kemendikbudristek, Kemenkes, BPJS, Kementerian Dalam Negeri, Kemenpan dan RB, dan Kemenkeu dalam bentuk peraturan presiden untuk AHS. Kolaborasi adalah kata yang indah, tetapi paling sulit dikerjakan terutama di Indonesia.(*)


Oleh: Ratna Sitompul | Guru Besar FKUI-RSCM; Ketua Monev Pokjanas AHS; Wakil Ketua Pemerhati Pendidikan dan Pelayanan Kesehatan Indonesia

Comments (0)