Pendulum Kewenangan Kedokteran Indonesia

In Berita Umum 17 April 2023

ForumDokter.id - Salah satu isu kebijakan dalam Rancangan Undang-undang Kesehatan Omnibus Law adalah hubungan pemerintah dan organisasi profesi kedokteran, terkait wewenang mengatur sektor kedokteran.

Di dalam sistem kesehatan ada pembagian tugas. Fungsi pemerintah adalah sebagai pihak yang berwenang membuat peraturan dan menjamin pelaksanaannya. Di luar pemerintah ada operator pelayanan kesehatan yang dapat berupa organisasi pemerintah atau swasta, dan organisasi-organisasi di masyarakat.

Dinamika yang terjadi adalah kewenangan atau kekuasaan mengatur pelayanan kedokteran dapat berada di pemerintah sepenuhnya, atau sebagian diserahkan dalam tingkat tertentu kepada organisasi di masyarakat.

Pendulum kewenangan

Secara historis terjadi dinamika hubungan pemerintah dengan organisasi profesi dokter sebagai organisasi di masyarakat sejak kolonial Belanda sampai masa RUU Kesehatan saat ini. Untuk menggambarkan dinamika itu, ada metafora pendulum yang bergerak dari kiri ke kanan dan bisa kembali lagi.

Pada masa kolonial praktik kedokteran diatur dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie No 97 Tahun 1882. Undang-undang itu dengan jelas menggambarkan bahwa negara (dalam hal ini Gubernur Jenderal dan Direktur Departement van Onderwijs, Eeredienst en Nijverheid/DOEN) mempunyai kedudukan yang sangat kuat dalam pengawasan praktik kedokteran mulai dari perizinan, ujian kompetensi profesi, sampai operasionalisasi di lapangan (Baha’Uddin, 2022).

Pada masa itu ada dua organisasi profesi. Yang pertama adalah Organisasi Profesi Dokter Eropa yang dibentuk pada 1902 dan sering memperjuangkan tarif dokter. Organisasi dokter kedua adalah Organisasi Profesi Dokter Pribumi yang dibentuk pada 1911.

Organisasi dokter pribumi lebih banyak mempermasalahkan diskriminasi yang dihadapi atau memperjuangkan posisi dan kedudukan yang setara dengan dokter Eropa.

Setelah kemerdekaan, pada 22-25 September 1950 Muktamar I Ikatan Dokter Indonesia (IDI) digelar di Jakarta. Tujuan IDI disebut dalam Anggaran Dasar (1950) dalam muktamar, yaitu (1) memperjuangkan hak pokok tiap-tiap manusia untuk memperoleh kesehatan jasmani dan rohani sesuai dengan paham keadilan sosial; (2) mempertinggi derajat kesehatan rakyat; dan (3) mempertinggi derajat ilmu kesehatan dan ilmu lain yang berhubungan dengan itu.

Dalam pasal mengenai usaha ada kalimat-kalimat untuk memperkuat kedudukan yang layak bagi anggota dan mengembangkan berbagai dana untuk perkumpulan. Pada saat didirikan tahun 1950, IDI tidak bertujuan dan berusaha berperan di wewenang pemerintah. Pendulum masih berada di pemerintah secara kuat.

Pergeseran pendulum

Lebih dari setengah abad setelah IDI didirikan, pada 2004 UU Praktik Kedokteran disahkan. Apa yang terjadi?

Pendulum kewenangan bergeser ke kiri. Pemerintah tidak mempunyai otoritas kuat dalam pengaturan kedokteran. Pasca-Orde Baru (2000-an ke belakang) ada euforia reformasi yang berusaha mengurangi peran pemerintah di bidang politik dan sosial. Situasi ini terjadi di sektor kedokteran.

Pada berbagai pasal dalam UU Praktik Kedokteran 2004, sebagian kewenangan pemerintah diberikan kepada organisasi profesi dalam berbagai bentuk.

Pertama adalah kewenangan di hulu sektor kedokteran (kegiatan pendidikan). UU Praktik Kedokteran 2004 menyatakan bahwa pembentukan kolegium dilakukan oleh organisasi profesi, dan pemerintah tidak berperan dalam hal ini.

Pemberian wewenang ini menimbulkan berbagai masalah di kemudian hari, termasuk konflik antarkolegium. Pemerintah tidak memiliki landasan hukum untuk menangani. Pemberian wewenang juga tidak sesuai dengan praktik yang sering dijalankan global, di mana organisasi profesi seperti IDI terpisah dari kolegium.

Kedua adalah kewenangan di hilir dalam perizinan praktik dokter yang diberikan kepada IDI. Dalam UU Praktik Kedokteran 2004, ada wewenang rekomendasi oleh organisasi profesi untuk izin praktik dokter, yang tidak ditemukan di beberapa negara lain. Adanya wewenang IDI memberikan rekomendasi dapat menghalangi keputusan pemerintah daerah (kabupaten/kota) untuk menerbitkan surat izin praktik dokter.

Wewenang rekomendasi oleh organisasi profesi menjadi lubang yang dapat dimanfaatkan oknum dokter untuk menghambat praktik sejawatnya.

Ketiga adalah pembentukan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), sangat penting untuk menjaga mutu praktik kedokteran. DI KKI, organisasi profesi yang seharusnya diawasi justru diberi ruang untuk masuk menjadi anggota, dan dapat memengaruhi keputusan.

Konsil kedokteran adalah organisasi penting dalam kedokteran di seluruh dunia. Namun, keanggotaan wakil-wakil organisasi profesi merupakan hal yang tidak biasa.

Dampak UU

Sejak UU Praktik Kedokteran 2004, dengan wewenang besar dan bersifat tunggal, IDI cenderung membesar dengan struktur rumit. Kolegium-kolegium yang seharusnya independen perlahan masuk sebagai organisasi di bawah PB IDI. Ada juga organisasi dokter seminat yang harus masuk ke IDI. Konsil Kedokteran Indonesia yang seharusnya mengawasi IDI menjadi kepanjangan pengaruh IDI karena sebagian anggota KKI berasal dari organisasi profesi.

Secara keseluruhan, IDI sebagai organisasi profesi yang disebut dalam UU Praktik Kedokteran 2004 mempunyai kewenangan dari hulu (pendidikan, melalui kolegium) sampai ke hilir (rekomendasi surat izin praktik, dan anggota KKI).

Kewenangan IDI lebih komprehensif dibandingkan pemerintah karena pemerintah perlu dua kementerian untuk mengurusi sektor kesehatan (Kemenkes) dan yang mengurusi sektor pendidikan dokter (Kemendikbudristek).

Di IDI tidak ada posisi general manager yang bekerja full-time untuk mengurus sebuah organisasi yang sangat besar. Tidak ada dewan pengawas. Dalam struktur yang sangat besar, mempunyai sumber dana besar, tidak adanya sistem pengawasan membuat IDI menjadi organisasi yang rentan konflik dan penyimpangan.

Dalam perspektif sistem kesehatan, hubungan pemerintah dengan organisasi profesi dengan kewenangan sebesar ini menjadi hal yang tidak baik untuk masyarakat, para dokter, dan untuk IDI sendiri.

Sebagai organisasi profesi, dalam fungsi memperjuangkan anggota, IDI sulit fokus pada pengembangan kesejahteraan anggota, termasuk residen. Dalam UU Pendidikan Kedokteran 2013 yang memperjuangkan nasib residen, peran IDI tidak terlihat dalam penyusunan dan pelaksanaan UU.

Ke mana pendulum?

Melihat perjalanan sejak zaman kolonial sampai sekarang selalu ada dinamika hubungan pemerintah dan organisasi dalam kewenangan mengatur sektor kedokteran di Indonesia.

Dengan RUU Kesehatan Omnibus Law yang sedang disusun, pendulum diharapkan bergerak ke kanan, dengan kewenangan pemerintah diperkuat. Penguatan wewenang pemerintah tentunya untuk tidak kembali ekstrem ke masa kolonial, di mana peran organisasi profesi sangat terbatas, tidak ada kolegium, dan tidak ada KKI.

Harapannya, RUU Kesehatan Omnibus Law ini tak menghancurkan organisasi profesi kesehatan. Meski tanpa wewenang rekomendasi surat izin praktik, IDI diyakini akan tetap ada dan makin berkembang karena dibutuhkan semua pihak.

Diharapkan ada kolegium yang independen tanpa harus dibentuk oleh organisasi profesi. KKI diharapkan lebih independen dan lepas dari pengaruh organisasi profesi yang seharusnya diawasi.

IDI perlu dikembangkan sebagai organisasi profesi kedokteran modern yang mengacu ke praktik global dalam hubungannya dengan pemerintah, masyarakat, dan anggotanya.

IDI diharapkan dapat lebih fokus pada tujuannya sebagai organisasi profesi yang menyejahterakan anggota, bekerja sebagai mitra pemerintah dan semua pihak yang ingin menyehatkan masyarakat Indonesia. (*)

- - -

Oleh: Laksono Trisnantoro | Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM.

(*Tulisan sudah tayang di Kompas.id)

Comments (0)