Pergulatan Kewenangan Kedokteran Indonesia

In Berita Umum 26 April 2023

ForumDokter.id - Tulisan Laksono Trisnantoro berjudul ”Pendulum Kewenangan Kedokteran Indonesia” (Kompas, 14/4/2023) setidaknya menarasikan tiga hal.

Pertama, setelah Undang-Undang (UU) Praktik Kedokteran disahkan tahun 2004, pemerintah tidak memiliki otoritas kuat dalam pengaturan dunia kedokteran.

Kedua, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dianggap memiliki kewenangan besar dalam dunia kedokteran, dari hulu hingga hilir. Kewenangan besar ini menimbulkan banyak masalah.

Ketiga, IDI telah berkembang menjadi sebuah organisasi besar dengan struktur rumit, yang kewenangannya lebih besar daripada pemerintah. IDI juga memiliki dana besar dan tanpa sistem pengawasan. Karena itu, IDI menjadi sebuah organisasi yang rentan konflik dan penyimpangan.

Otoritas kuat

Setiap UU dibuat dengan pertimbangan matang dan memperhitungkan berbagai aspek relevan. Demikian pula UU Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004 yang disahkan Presiden Megawati Soekarnoputri. Dalam UU ini ada enam pilar besar yang diatur: Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), standar pendidikan profesi, pendidikan dan pelatihan, registrasi, penyelenggaraan praktik kedokteran, dan disiplin dokter.

Jika menyelisik keenam pilar tersebut, narasi Sdr Laksono bahwa pemerintah tidak memiliki otoritas kuat pasca-UU Praktik Kedokteran menjadi tak beralasan. Pasalnya, keenam pilar justru menegaskan peran vital pemerintah.

Dalam pilar terkait KKI, Pasal 14 menyebutkan, keanggotaan KKI ditetapkan presiden atas usul menteri. Pengangkatannya diatur peraturan presiden. Pasal 23 menambahkan, pelaksanaan tugas KKI dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan. Artinya, otoritas pemerintah terhadap keanggotaan dan proses dalam KKI sangat kuat.

Terkait standar pendidikan profesi, standar pendidikan disusun oleh asosiasi institusi pendidikan kedokteran serta kolegium dan disahkan oleh KKI.

Dalam penyusunan standar ini, institusi pendidikan kedokteran ataupun kolegium perlu berkoordinasi dengan pemangku kepentingan lain, seperti organisasi profesi; asosiasi rumah sakit; Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi; dan Kementerian Ke- sehatan. Jadi, penyusunan standar ini di- lakukan oleh multiprofesi, dengan keterlibatan dominan institusi pemerintah.

Pada pilar pendidikan dan pelatihan, setiap dokter harus mengikuti pendidikan berkelanjutan yang diselenggarakan oleh organisasi profesi atau lembaga lain yang diakreditasi. Jadi, tidak hanya didominasi organisasi profesi.

Terkait registrasi, Pasal 29 menyebutkan bahwa KKI, yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah, berwenang mengeluarkan surat tanda registrasi. Untuk praktik kedokteran, surat izin praktik (SIP) dokter dikeluarkan oleh pejabat kesehatan berwenang di kabupaten atau kota tempat dokter akan praktik, yaitu dinas kesehatan (Pasal 37). Ketentuan SIP ini diatur lebih lanjut oleh peraturan menteri.

Pilar-pilar ini jelas menunjukkan peran kuat dan dominan pemerintah; artinya, pernyataan bahwa otoritas pemerintah melemah menjadi tidak tepat.


”Superpower” IDI?

IDI dianggap memiliki kewenangan lebih komprehensif daripada pemerintah dengan alasan organisasi ini mempunyai kewenangan dari hulu (pendidikan, melalui kolegium) hingga hilir (rekomendasi SIP dan menjadi anggota KKI). Narasi ”dari hulu ke hilir” menggambarkan seolah organisasi profesi ini memiliki wewenang dalam setiap proses. Istilah ini berlebihan, apalagi menyebutkan wewenangnya melebihi wewenang pemerintah.

Pendidikan dan praktik kedokteran di Indonesia merupakan sebuah sistem kompleks, yang melibatkan banyak pemangku kepentingan. Setiap pemangku kepentingan memiliki peran relevan. Pendidikan dokter S-1, misalnya, dikelola Kemendikbudristek, asosiasi institusi, fakultas kedokteran, asosiasi rumah sakit, dan rumah sakit pendidikan. Ujian kompetensi mahasiswa dokter digawangi Kemendikbudristek, panitia Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPD), dan fakultas kedokteran.

Proses internship dikawal Kementerian Kesehatan, Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI), dan dinas kesehatan. Pendidikan spesialis merupakan ranah Kemendikbudristek, fakultas kedokteran, dan kolegium. Surat tanda registrasi internship dan surat tanda registrasi dikeluarkan KKI. Adapun SIP dikeluarkan dinas kesehatan.

Dalam sistem yang kompleks ini, keterlibatan IDI hanya ada pada dua elemen, yaitu saat sertifikat kompetensi dikeluarkan oleh kolegium dan saat pemberian surat rekomendasi sebelum dinas kesehatan mengeluarkan SIP.

Jadi, sangat berlebihan menyebut bahwa organisasi profesi memiliki peran dari hulu ke hilir atau superpower. Proses di atas menunjukkan dominannya peran pemerintah, lewat Kemendikbudristek, Kementerian Kesehatan, dinas kesehatan, dan institusi lain, dalam pendidikan dan praktik kedokteran.

Keterlibatan IDI pada dua elemen memiliki justifikasi. Kolegium adalah badan yang mengelola salah satu cabang ilmu kedokteran. Misalnya, kolegium ilmu bedah mengelola cabang ilmu bedah. UU Praktik Kedokteran Pasal 1 butir 13 mengamanatkan bahwa organisasi profesi membentuk kolegium yang bertugas mengampu cabang ilmu kedokteran.

Meski kolegium dibentuk organisasi profesi, secara struktural, kolegium adalah badan otonom, yang bekerja secara independen dan bertanggung jawab pada kongres perhimpunan.

Dalam rumah besar IDI, ada empat badan yang bekerja otonom, termasuk kolegium yang tergabung dalam Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI). Dalam tugas dan wewenangnya, MKKI dan badan otonom lainnya tidak dicampuri oleh IDI. Organisasi profesi IDI tidak terlibat secara praktis ataupun taktis dalam proses kerja dan pengambilan keputusan kolegium.

Di beberapa negara, kolegium sebagai pengampu ilmu terbentuk lebih dahulu daripada organisasi profesi. Karena itu, kolegium terpisah dengan organisasi profesi. Di Indonesia, organisasi profesi IDI lahir tahun 1950. Adapun kolegium pertama (kolegium ilmu bedah) terbentuk tahun 1955, diikuti kolegium ilmu penyakit anak pada tahun 1966. Jadi, wajar jika organisasi profesi merupakan rumah besar kolegium juga.

IDI diamanahkan oleh UU untuk mengeluarkan surat rekomendasi bagi dokter yang akan praktik. Rekomendasi ini menjadi bahan pertimbangan bagi dinas kesehatan mengeluarkan SIP. Amanah surat rekomendasi ini juga dimiliki organisasi profesi lain, seperti Persatuan Perawat Nasional Indonesia dan Ikatan Bidan Indonesia.


Surat rekomendasi memberikan informasi tentang status administrasi kredensial dan etik dari dokter dan tenaga kesehatan yang akan praktik. Tujuannya, agar dokter atau tenaga kesehatan yang akan praktik tidak tersangkut masalah administrasi kredensial dan etik.

Surat rekomendasi merupakan dokumen yang jamak diperlukan melamar pekerjaan atau melanjutkan pendidikan. Di negara-negara lain, surat rekomendasi, baik dari atasan, supervisor, maupun sejawat, merupakan hal lumrah yang ditunjukkan saat ingin bekerja atau bersekolah. Jadi, tidak ada yang aneh dengan surat rekomendasi.

Organisasi profesi ditunjuk sebagai pemberi rekomendasi karena organisasi profesi memang merupakan institusi paling relevan dalam men-screening aspek kredensial dan etika dari anggotanya. Selain itu, karena namanya rekomendasi, tak ada mutlak-mutlakan. Dinas kesehatan bisa saja mengeluarkan SIP meski tanpa surat rekomendasi.

Terkait adanya representasi organisasi profesi di KKI, ini juga diatur dalam UU. Dua dari 17 anggota KKI (12 persen) mesti merupakan representasi organisasi profesi dokter. Selebihnya berasal dari elemen lain, termasuk Kementerian Kesehatan (dua orang), Kemendikbudristek (dua orang), dan tokoh masyarakat (tiga orang).

Dua representasi organisasi profesi merupakan refleksi keterwakilan 200.000 dokter yang ada di negeri ini. Keberadaan mereka di KKI memungkinkan perspektif dokter diwakili/diperhatikan dalam pengambilan keputusan.

Sebagai contoh, organisasi profesi dokter dapat memberikan masukan tentang standar etika dan kualitas pelayanan kesehatan yang diperlukan untuk melindungi kepentingan pasien dan memastikan praktik kedokteran yang aman dan efektif. Tentu saja keberadaan wakil organisasi profesi tidak mendominasi KKI karena keputusan diambil secara kolegial, di mana proporsi keterwakilan organisasi hanya berkisar 12 persen.

Apalagi fungsi KKI tidak terbatas sebagai regulator. Fungsi lainnya adalah pembinaan pelaksanaan etika sebagaimana yang ditetapkan organisasi profesi. Fungsi ini tentu saja tidak bisa diambil dan dilakukan elemen atau kelompok profesi lain. Artinya, keberadaan representasi organisasi profesi adalah untuk merespons tugas spesifik di KKI. Tidak ada yang keliru.

Kewenangan berlebih

Ketika IDI berkembang menjadi sebuah organisasi besar, mestinya fenomena ini membanggakan dokter Indonesia. Menuding organisasi besar ini rentan konflik dan penyimpangan akibat pendanaan besar dan minimnya sistem pengawasan merupakan tudingan tidak beralasan.

Sebagai satu-satunya organisasi profesi dokter yang diakui pemerintah, yang selama ini berkontribusi signifikan dalam pelayanan kesehatan, mestinya IDI mendapat kucuran dana dari pemerintah. Sayangnya, hingga saat ini, IDI tidak mendapatkan alokasi dana atau pembiayaan dari pemerintah.

IDI juga tidak melakukan kerja sama profit-taking dengan industri-industri dan lembaga-lembaga lain. Organisasi ini juga tidak menjadi underbow organisasi politik atau organisasi massa yang memungkinkan perolehan kucuran dana atau insentif.

Sumber dana rutin organisasi ini berasal dari iuran anggota yang besarnya Rp 15.000 per bulan, yang kemudian dinaikkan beberapa tahun lalu menjadi Rp 30.000 per bulan. Bagian terbesar iuran ini masuk ke IDI cabang (80 persen) dan IDI wilayah (15 persen) untuk menjalankan roda organisasi dan kegiatan. Sisanya, 5 persen, masuk ke IDI pusat.

Dengan jumlah dokter aktif yang berkisar 150.000-200.000, nominal iuran per tahun ini tidak besar untuk sebuah organisasi profesi tunggal. Bandingkan dengan organisasi perawat yang iuran rutinnya per tahun Rp 200.000 dengan jumlah anggota melebihi satu juta. Karena itu, organisasi perawat dapat mengembangkan berbagai usaha, termasuk pendirian sekolah-sekolah perawat.

Berdasarkan data ini, pernyataan Sdr Laksono terkait besarnya dana IDI mengherankan. Lebih mengherankan lagi jika disebut dana tidak diaudit. Dana IDI secara reguler diaudit oleh pihak eksternal. Juga secara internal disampaikan kepada semua anggota secara terbuka dalam musyawarah cabang atau wilayah atau pada muktamar.

Sebenarnya, tidak ada yang salah ketika Sdr Laksono mengemukakan pandangannya terkait IDI. Cuma, agar konteks dan konten pandangan itu obyektif dan tidak parsial, sebaiknya pandangan tersebut didukung oleh bukti valid dan obyektif; dan tidak hanya didasarkan pada prasangka atau bukti yang tidak adekuat. Ini penting agar pandangannya tidak gegap gempita dalam narasi, tetapi gagap dalam substansi.(*)

Iqbal Mochtar |  Pengurus PB IDI dan PP IAKMI; Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia Timur Tengah

(*Kompas.id)

Comments (0)